Warga Puluhan Tahun di Lahan Sendiri, Tapi Disebut Kawasan Hutan — DPRD Barut Desak Solusi
yd

Hai Kalteng - Muara Teweh - Persoalan tumpang tindih antara lahan masyarakat dan kawasan hutan kembali menjadi sorotan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di ruang rapat DPRD Kabupaten Barito Utara, Senin, 6 Oktober 2025.
Rapat tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi II DPRD Barito Utara, H. Taufik Nugraha, didampingi Ketua Komisi III, H. Tajeri, serta Ketua Fraksi Aspirasi Rakyat, Hasrat. Hadir pula sejumlah instansi terkait, di antaranya Kantor Pertanahan (BPN) Barito Utara, Dinas PUPR, serta para camat se-Barito Utara.
(Baca Juga : DPRD Seruyan Dorong Tanggulangi Kemiskinan dan Gizi Buruk)
Dalam rapat itu, Anggota DPRD Barito Utara, Hasrat, menyoroti banyaknya masyarakat yang secara turun-temurun telah mengelola lahan selama puluhan tahun, namun kini menghadapi masalah karena wilayahnya ditetapkan sebagai kawasan hutan.
“Masyarakat tidak tahu apakah itu hutan produksi, APL, atau HPK. Yang penting, menurut adat, siapa yang pertama kali membuka lahan, maka dialah pemiliknya,” ujar Hasrat yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Aspirasi DPRD Barito Utara.
Ia mencontohkan kasus di Desa Jamut, di mana warga sudah lama memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan pemerintah daerah. Namun, belakangan diketahui wilayah tersebut masuk dalam kawasan hutan produksi.
“Dulu APL, bisa disertifikatkan, tapi setelah keluar SK baru malah jadi hutan produksi. Ini yang harus dicarikan solusinya,” tegasnya.
Hasrat menambahkan, kondisi tersebut tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga berdampak pada pembangunan daerah dan program kompensasi lahan.
“Warga sudah 10–20 tahun tinggal dan berkebun di sana. Ketika mau dibayar ganti rugi karena terkena proyek, ternyata tidak boleh, karena statusnya kawasan hutan,” katanya.
Ia mendorong pemerintah daerah untuk mengambil langkah konkret melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), dengan melibatkan pemerintah desa dan kecamatan.
“Data kepemilikan dari masyarakat harus diakomodir. Desa bisa mendata, kecamatan memverifikasi, lalu kabupaten menyampaikan ke KLHK. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi dianggap melanggar aturan, padahal mereka sudah lama hidup dan berusaha di lahan itu,” tutup Hasrat.
- Tinggalkan Komentar